Jumat, 09 Desember 2011

UPAYA TAKTIS DAN STRATEGIS PEMBERANTASAN KORUPSI


Pada hari Jum’at tanggal 2 Desember 2011 yang lalu  kita telah mempunyai pimpinan KPK yang baru untuk periode 2011 sampai dengan 2015, adalah Abraham Samad yang telah berhasil melalui proses seleksi yang ketat hingga menduduki posisi itu. Serta merta semua mata dan harapan segenap anak bangsa atas penegakan hukum dan pemberantasan tindak pidana korupsi tertuju pada mantan aktivis antikorupsi dari Makasar ini. Harapan ini bukan sesuatu yang berlebihan atau lebay kata anak zaman sekarang, hal ini tak lain mengingat negara Indonesia sekarang, suka atau tidak, telah “dikepung” oleh sekelompok orang yang berbangga melakukan korupsi secara berjamaah, dari tingkat daerah sampai tingkat nasional, dari yang masih baru menjabat sebagai PNS sampai dengan pejabat yang telah bertahun-tahun meniti karir pada suatu departemen. Sehingga terkadang kita pun merasa bingung dibuatnya (jika tidak mau disebut putus asa) dari mana memulai pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.
 Kesadaran akan adanya kebanggaan korupsi berjamaah itulah, akhirnya KPK sebagai suatu lembaga superbody dilahirkan pada tahun 2003 dengan harapan berbekal “persenjataan” yang ada dapat memberantas tindak pidana korupsi yang terus menjamur. Harapan yang besar tersebut menimbulkan sebersit pertanyaan apakah KPK yang dilahirkan dengan undang-undang nomor 30 tahun 2002 dapat secara efektif memberangus tindak pidana korupsi yang sudah berjamaah dan berurat-berakar tersebut? Atau apakah bangsa ini punya alternatif lain untuk pemberantasan tindak pidana korupsi ini?
Komisi Pemberantasan Korupsi
Bila ditilik dari undang-undang nomor 30 tahun 2002, semangat pendirian KPK adalah jelas untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan cara-cara yang luar biasa, sehingga lembaga ini diberikan “persenjataan yang mutakhir” berupa kewengan yang luas, independent serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. 
KPK setidaknya telah menangani sejumlah 45 perkara korupsi yang menjadi sorotan masyarakat luas baik nasional maupun internasional. Sebut saja beberapa diantaranya yaitu pada tahun 2004 KPK menangani perkara pengadaan helikopter, tahun 2005 kasus penyuapan anggota KPPU Mulyana W. Kusumah, tahun 2008 KPK menangani kasus yang menyangkut besan Presiden RI yaitu Aulia Pohan, sampai perkara yang sangat menghebohkan dan melibatkan oknum aparat penegak hukum yaitu perkara Urip Tri Gunawan, Artalyta Suryani dan Gayus Tambunan. Bila dilihat dari perkara-perkara yang yang pernah ditangani KPK, hampir semuanya merupakan perkara-perkara yang sulit dan menyebabkan negara mengalami kerugian triliunan rupiah.
Namun demikian, hingga tulisan ini kami buat, posisi Indonesia sebagai negara yang korup tidak mengalami penurunan yang signifikan (hal ini setidaknya berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi tahun 2011 yang diluncurkan Transparency International). Sehingga mungkin dapat diambil kesimpulan sementara bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak mengalami penurunan yang signifikan sejak KPK didirikan. Memang tidak semua perkara korupsi merupakan wewenang KPK karena Indonesia juga memiliki Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat menangani perkara korupsi, akan tetapi mengingat apa yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwasanya memang KPK sebagai lembaga superbody diharapkan dapat memberikan langkah-langkah efektif memberantas korupsi.
Perang Terhadap Korupsi
Berdasarkan pengamatan kami, pemberantasan korupsi di Indonesia ini tidak dapat hanya dibebankan kepada KPK saja karena tindak pidana korupsi ini sudah terjadi hampir disetiap lapisan sehingga setidaknya ada 12 upaya yang harus dilakukan secara terintegrasi apabila memang pemerintah serius “berperang” melawan korupsi. Apabila upaya-upaya ini tidak dilakukan maka dapat disimpulkan (menurut kami) pemerintah tidak serius memberangus korupsi yang telah mensengsarakan rakyat dan menenggelamkan nama besar Indonesia di kancah perekonomian maupun perpolitikan dunia.
Kedua belas upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia ini adalah:     
1.       Peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum
Salah satu hal yang menyebabkan lumpuhnya penegakan hukum di Indonesia, terutama bila berhadapan dengan perkara korupsi adalah masalah kesejahteraan aparat penegak hukum, baik itu bagi polisi, jaksa apalagi hakim yang merupakan pejabat negara akan tetapi dengan tingkat kesejahteraan yang jauh dibandingkan menteri yang juga pejabat negara.
Menurut hemat kami, para aparat penegak hukum ini sengaja “dimiskinkan” secara sistematis oleh pemerintah, baik secara personal maupun institusinya, agar tidak dapat berbuat banyak ketika berhadapan dengan para pelaku korupsi yang umumnya “uangnya tidak berseri”. Dapat kita bayangkan bagaimana majelis hakim, misalnya, yang memiliki kewenangan besar hingga vonisnya dapat “mencabut nyawa” seorang terdakwa akan tetapi memiliki penghasilan yang jauh dari cukup hanya sekedar untuk menghidupkan seorang anaknya apalagi untuk mensekolahkan anaknya agar dapat mengenyam pendidikan yang normal. Sebagai perbandingan mungkin bisa dilihat penghasilan para anggota KPK yang setidaknya 2 x lipat dibandingkan gaji aparat penegak hukum lainnya, lalu bagaimana hasilnya? Bisa kita lihat sendiri langkah-langkah yang telah diambil oleh KPK, selain karena mempunyai kewenangan yang besar para anggota KPK dapat dengan nyaman melaksanakan tugasnya tanpa harus berpusing ria dengan masalah kesejahteraan.
Usulan ini bukan tidak memperhitungkan atau melihat keadaan ekonomi negara Indonesia, akan tetapi dibalik hak yang besar tersebut menggantung tanggung jawab yang besar pula yaitu berupa kewajiban untuk dapat mengembalikan uang negara hasil korupsi yang apabila dikalkulasi maka akan dapat menutupi beban APBN. Sebagai contoh kecil adalah korupsi BLBI, yang diindikasikan penyimpangannya sebesar Rp.138 triliun yang sebagaimana berita Koran Jakarta tanggal 6 Desember 2011 pada halaman 1 tentang Kroni Orba Menjadi Kroni Pejabat Pemerintahan Baru yang menyebutkan sejak penerbitan obligasi rekapitalisasi perbankan tahun 1998, negara harus membayar bunga sekitar Rp.70 triliun setiap tahun. Bahkan dalam 10 tahun terakhir utang Indonesia membengkak, bertambah sekitar Rp. 1.100 triliun, menjadi Rp.1.768 triliun Rupiah.   Bayangkan apabila uang BLBI, Century, penggelapan pajak, DAU (Dana Abadi Umat) di Departemen Agama dan uang hasil korupsi lainnya dapat dikembalikan tentu APBN tidak menjadi negatif dan negara/rakyat tidak perlu menanggung utang terus menerus sedangkan uang utangnya dinikmati oleh para koruptor.

2.       Penghukuman yang efektif dan berefek jera
Penghukuman yang efektif dan berefek jera dimaksudkan tersebut adalah yang menjerakan bagi koruptor dan masyarakat, seperti kewajiban sosial, potong tangan sampai hukuman mati. Tentu tidak secara serta merta diberlakukan, karena dilihat berat ringannya kesalahan dari sang koruptor namun harus memiliki minimum pemidanaan. Penting disini adalah bagaimana penghukuman bagi koruptor memberikan efek jera kepada yang lain sehingga enggan untuk melakukan korupsi. Hal ini sesuai dengan filosofi pemidanaan yang diberikan agar memberikan efek jera terhadap pelakunya dan pembelajaran kepada pihak lain agar tidak melakukan tindak pidana yang dijatuhkan hukuman tersebut.
        Sebagaimana yang kita ketahui dari media-media belakangan ini yang telah rahasia umum jika didalam penjara/pemasyarakatan para terpidana dapat “membeli” fasilitas sesuai kemampuan uangnya dari yang mulai kelas “kaki lima” sampai kelas “bintang lima”, lalu apakah dengan pemidanaan yang berlangsung sekarang ini seorang pelaku tindak pidana korupsi dapat jera untuk tidak melakukan lagi tindak pidana korupsi? Atau apakah pemidanaan sekarang memberikan efek bagi pihak lain untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi?
Faktanya adalah banyaknya koruptor yang telah dipidana tapi masih banyak tersangka atau “calon” koruptor lain yang kita lihat dimedia cetak maupun elektronik. Apakah pelaku korupsi semakin surut? Laporan PPATK baru-baru ini yang menemukan banyaknya PNS golongan rendah tapi mempunyai rekening milyaran rupiah telah membuktikan bahwa penghukuman kepada para koruptor tidak membuat orang takut untuk melakukan korupsi sehingga jelas penghukuman kepada terpidana korupsi sekarang ini tidak efektif sehingga perlu keberanian mengubah dengan pemidanaan yang menimbulkan efek jera seperti potong tangan atapun hukuman mati. 
Memang sekilas penghukuman seperti itu terlihat seperti tidak manusiawi, akan tetapi dibalik itu semua, pernah kah kita berfikir bahwa akibat dari korupsi yang dilakukan telah mengakibatkan lebih tidak manusiawi kepada masyarakat luas berupa kehilangan pekerjaan, kehilangan akses untuk berusaha, sampai dengan hilang/rusaknya alam yang diakibatkan pembalakan liar yang secara langsung maupun tidak langsung terjadi karena karakter yang koruptif yaitu menyalahgunakan kewenangan. Koruptor justru jauh lebih bahaya daripada teroris karena kita dibuat tidak waspada akan kehadirannya namun justru mematikan peri kehidupan suatu bangsa secara menyeluruh dan signifikan sampai anak cucu kita. Sehingga pantas kiranya diberikan pemidanaan yang efektif dan mampu menimbulkan efek jera.
Penghukuman yang efektif dan berefek jera juga berlaku bagi aparat penegak hukum yang telah menikmati peningkatan kesejahteraan dari negara. Justru bagi aparat penegak hukum, penghukumannya harus dengan pemberatan atau standar minimum yang lebih berat dari yang bukan aparat penegak hukum. Maksud dari penghukuman ini adalah agar para aparat penegak hukum benar-benar professional menjalankan tugasnya dan tidak menyalahgunakan wewenang yang dimilikinya.  

3.       Insenfif/bonus dan promosi kenaikan pangkat bagi aparat penegak hukum / lembaga yang berhasil menangkap atau menghukum koruptor
Pemberian insentif/bonus dan promosi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja para aparat penegak hukum dalam memburu koruptor serta melindungi mereka dari upaya suap para koruptor yang sedang diburu oleh para aparat penegak hukum.
Terkait hal ini, aparat penegak hukum juga diwajibkan untuk tetap menegakkan hukum, sehingga tidak hanya mengejar target bonus/insentif dan promosi belaka. Pelanggaran terhadap hal ini juga dapat dijatuhkan sanksi yang keras seperti tersebut sebelumnya.

4.       Insentif dan perlindungan hukum penuh bagi PNS yang memberikan informasi adanya korupsi di departemennya
Maksud dari upaya ini adalah untuk mengurangi tindak pidana korupsi didepartemen-departemen yang banyak berlangsung sekarang ini, dari mulai masalah tender sampai dengan penggunaan anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukan ataupun target dari anggaran tersebut. Sebut saja kebiasaan yang diketahui khalayak, misalnya, penghabisan anggaran oleh hampir setiap departemen pada akhir tahun dengan alasan agar periode berikutnya anggaran pada pos tersebut tidak dipotong. Secara formal mungkin dapat dipahami, namun apakah itu bukan juga korupsi karena menggunakan anggaran bukan pada hal yang diperuntukkan atau ditargetkan tapi hanya agar pos tersebut tidak hilang untuk periode berikutnya? Bukankah lebih baik jika suatu anggaran digunakan sesuai rencana waktu dan peruntukkannya sehingga benar-benar bermanfaat bagi rakyat dan dikembalikan ke negara jika memang tidak dapat dilaksanakan daripada dilaksanakan dengan serampangan?
Kebiasaan seperti ini jelas merugikan keuangan negara dan apabila dapat dihilangkan maka berapa banyak uang negara yang dapat diselamatkan dari setiap departemen dan/atau instansi?

5.       Menjadikan Hukum Sebagai Panglima Serta Mengefektifkan Sumber-Sumber Penerimaan Negara
Dengan menjadikan hukum sebagai panglima, utamanya pemberantasan tindak pidana korupsi, serta mengefektifkan sumber-sumber penerimaan negara, seperti penerimaan negara dari pajak dan bukan pajak, memudahkan system investasi dan berusaha, maka akan timbul kepastian hukum yang dapat berjalan beriringan dengan kemajuan ekonomi.
Perkembangan ekonomi yang dijaga oleh hukum sebagai panglimanya maka bukan tidak mungkin dalam jangka waktu 5 tahun kedepan Indonesia bukan saja menjadi macan asia malah sangat memungkinkan Indonesia akan menjadi negara adikuasa karena “kebocoran” keuangan negara dapat diminimalisasi secara signifikan. 

6.       Sita Massal Terhadap Aset Koruptor untuk Pengembalian Keuangan negara Yang Dikorupsi
Terpidana koruptor harus dihukum untuk mengembalikan uang negara yang telah dikorupsinya ditambah bunga yang berlaku pada saat pemidanaan. Pengembalian harus dilakukan secara langsung dan tunai, namun apabila dalam jangka waktu paling lama setahun terpidana koruptor tidak dapat mengembalikan uang negara tersebut, maka eksekusi sebagaimana disebutkan dalam usulan kedua harus dilaksanakan. 
Adanya pengembalian keuangan negara ini merupakan bagian dari menimbulkan efek jera bagi koruptor dan selain itu untuk dapat memperbaiki keuangan negara. 

7.       Memaksimalkan peran serta publik
Peran serta publik sangat penting, yaitu sebagai katalisator dan pengontrol dalam pemberantasan korupsi, dimana publik juga dapat menimbulkan efek jera pada koruptor dengan cara pengumuman perkembangan pemberantasan korupsi di media secara berkala, pensitaan harta koruptor atas dasar info dari publik, pemberitahuan penerimaan negara dari uang yang dikembalikan oleh tersangka/terdakwa koruptor, mempermudah akses pelaporan adanya tindak pidana korupsi, sampai pemantauan atas pelaksanaan eksekusi terhadap koruptor (potong tangan atau mati).
Dengan memaksimalkan peran serta publik maka akan terdapat transparansi dalam pemberantasan korupsi dan juga menimbulkan efek jera. Pada akhirnya dapat dipastikan seluruh komponen pemerintah baik itu eksekusif, yudikatif dan legislatif tidak akan melakukan praktek koruptif. 

8.        Perbaikan dan Transparansi dalam Penerimaan PNS
Berkembangnya tindak pidana korupsi tidak lain karena adanya pola rekrutmen calon PNS yang sarat KKN. Hampir disetiap instansi, bukan rahasia umum lagi, menargetkan sejumlah uang agar seorang calon PNS dapat diterima masuk menjadi PNS. Hal ini berlangsung baik ditingkat pusat sampai tingkat daerah dari segala golongan.
Bagaimana pemberantasan korupsi dapat berjalan dengan baik apabila proses penerimaan PNS tidak diperbaiki? Ibarat kita memotong pohon tapi akarnya tidak dipotong maka lambat laun pohon itu akan tumbuh kembali. Demikian halnya dengan pemberantasan korupsi. Sehingga masalah perbaikan penerimaan PNS juga tidak dapat dinomorduakan apabila kita serius perang terhadap korupsi.

9.       Pemaksimalan Pembuktian Terbalik Dan Perlindungan Saksi
Beberapa bulan belakangan ini, telah mulai didengungkan untuk dilakukannya pembuktian terbalik terhadap penanganan perkara korupsi. Pembuktian terbalik disini adalah dimana terdakwa korupsi dalam persidangan membuktikan bahwa harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana.
Pembuktian terbalik ini memang tidak dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi hukum acara oleh KPK, dimana menurut Pasal 137 KUHAP Jaksa Penuntut Umum-lah yang berkewajiban membuktikan adanya tindak pidana yang dilakukan terdakwa dan Pasal 66 KUHAP ditegaskan juga bahwa terdakwa  tidak dibebani kewajiban pembuktian.  Namun pembuktian terbalik ini dapat kita temukan dalam Undang-undang nomor: 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak pidana penncucian uang.
Pembuktian terbalik merupakan sistem pembuktian yang diterapkan di negara-negara Anglo Saxon. Teori ini telah berhasil dipraktekkan di beberapa negara, di antaranya Hong Kong, Inggris, Malaysia, dan Singapura.
Sistem beban pembuktian terbalik ini telah diadposi dalam Undang-undang nomor: 20 tahun 2001. Menurut undang-undang ini, pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi (pemberian), yang berkaitan dengan suap (Pasal 12B ayat 1) dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang nomor: 31 tahun 1999, serta Pasal 5 sampai Pasal 12 Undang-undang nomor: 20 Tahun 2001. Undang-undang ini juga memerinci pengertian gratifikasi secara luas. Jadi, pemberian seperti komisi, persenan, imbalan, hadiah, “upeti”, bahkan pungutan liar, bisa masuk dalam pengertian tersebut. Kalaupun ada bentuk ataupun penafsiran berbeda tentang gratifikasi, penjelasan Pasal 12B ayat 1 sudah mengakomodasinya dengan kata-kata “dan fasilitas lainnya” (Akil Mochtar, 2006).
Sungguhpun terdakwa korupsi dibebankan pembuktian bahwasanya harta yang dimiliki bukan merupakan hasil tindak pidana, namun para aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, KPK ataupun hakim harus lebih professional dalam menentukan “bukti permulaan yang cukup” dalam rangka menjerat tersangka/terdakwa koruptor.  

10.   Mengoptimalkan Fungsi Aparat Penegak Hukum dan instansi terkait seperti PPATK dan LPSK
Terintegrasi dan terkordinasinya aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan, KPK dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) dan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sangatlah penting, mengingat pemberantasan korupsi merupakan pekerjaan yang berat dan memerlukan kordinasi dan keseriusan dalam penanganannya, sehingga kesemua aparat penegak hukum juga harus dapat didukung secara efektif oleh PPATK dan LPSK.
Aliran dana para koruptor akan terpantau secara jelas oleh PPATK, sebagaimana yang kita ketahui PPATK pernah mengumumkan rekening “gemuk” para anggota polisi dan beberapa hari yang lalu juga PPATK mengumumkan adanya beberapa rekening milik PNS golongan bawah yang diduga hasil korupsi karena berjumlah milyaran rupiah serta banyak hal lain yang telah ditemukan maupun dipantau oleh PPATK.
Dengan tugas dan fungsi PPATK yang sangat strategis tersebut sebenarnya sangat membantu pemerintah untuk memberangus korupsi, namun karena selama ini tidak ada kordinasi yang benar dan sehat antar lembaga tersebut sehingga apa yang telah ditemukan oleh PPATK hilang entah kemana tanpa ada tindak lanjut sama sekali.
Karenanya perlu kordinasi yang sangat intens antara aparat penegak hukum dengan PPATK agar dapat teridentifikasi sejak awal apabila adanya indikasi korupsi sehingga dana-dana korupsi dapat dibekukan sambil proses hukum dilaksanakan. 
Pengoptimalan LPSK juga tidak kalah penting untuk mengmaksimalkan peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi. Entah disengaja atau tidak selama ini fungsi LPSK tidak dimaksimalkan, sehingga masyarakat enggan untuk mengambil tindakan nyata ikut andil dalam perang melawan korupsi karena khawatir akan menjadi sasaran tembak bagi koruptor yang mempunyai akses politik dan ekonomi serta ditopang dana yang kuat.  

11.   Menjalin Kerjasama Dengan Dunia Internasional
Semua langkah yang telah kami uraikan di atas akan menjadi tidak efektif apabila “perang” terhadap korupsi ini tidak didukung kerjasama dengan dunia internasional. Kerjasama dengan dunia internasional berguna untuk mengantisipasi koruptor “bersembunyi” di luar negeri terutama di negara-negara yang tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Pengalaman beberapa koruptor yang “lari” ke luar negeri harus menjadi pembelajaran penting bagi aparat penegak hukum akan pentingnya menjalin kerjasama dengan dunia internasional.  

12.   Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) Antikorupsi oleh Presiden
Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki urutan peraturan perundang-undangan yang harus dijalankan oleh seluruh warga negara Indonesia. Tiap peraturan dikelompokkan dalam berbagai kelompok seperti berikut ini di mana yang paling atas adalah yang paling kuat dan peraturan yang bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan diatasnya. Berdasarkan undang-undang nomor: 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah: i) UUD 1945 (Undang-Undang Dasar 1945); ii) Tap MPR (Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat); iii) UU (Undang-Undang) atau Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang); iv) PP (Peraturan Pemerintah); v) Kepres (Keputusan Presiden); vi)  Perda (Peraturan Daerah).
Agar suatu Rancangan Undang-Undang bisa menjadi Undang-Undang cukup memakan waktu karena perlu melewati empat tahapan panjang yaitu: 1) Persiapan Rancangan Undang-undang; 2) Pembahasan di DPR; 3) Pengesahan oleh Presiden; lalu 4) Diundangkan oleh Sekretariat Negara.
Untuk mengintegrasikan dan memudahkan kordinasi pemberantasan korupsi yang sudah sangat mengkhawatirkan, ada baiknya Presiden mengambil “keberanian” dengan menetapkan Perpu, yang kelasnya setingkat dengan undang-undang namun dalam pembuatan sampai pengundangannya tidak memakan waktu lama, untuk mengambil kebijakan-kebijakan taktis dan strategis pemberantasan korupsi berupa penerapan upaya-upaya tersebut di atas.
Kesebelas upaya taktis dan strategis yang telah kami jelaskan di atas akan tidak dapat dilaksanakan dan tidak berarti apapun apabila tidak ada payung hukum, karenanya Perpu yang ditetapkan oleh Presiden merupakan payung hukum yang sangat efektif.
Presiden dapat menetapkan Perpu dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Undang-undang nomor: 10 tahun 2004 tidak menjelaskan apa pengertian dari “hal ikhwal kegentingan memaksa”. Dalam kurun waktu 10 tahun belakangan ini, setidaknya pemerintah pernah menetapkan 2 Perpu yaitu Perpu nomor: 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu nomor: 2 tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu 1/2002 Pada Peristiwa Peledakan Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002. Dari dua Perpu tersebut dapat disimpulkan bahwasanya Presiden dapat menetapkan Perpu sesuai kondisi yang akan diantisipasi atau diatur oleh pemerintah.   
Kesimpulan
                Korupsi merupakan kejahatan kerah putih dan luar biasa yang penanganannya juga harus dilakukan dengan cara luar biasa dan tidak dapat hanya ditangani oleh suatu lembaga sendiri, walaupun superbody, tanpa ada kordinasi dan dukungan dari rakyat Indonesia. Selama pemberantasan korupsi dilakukan dengan cara-cara biasa apalagi tanpa kordinasi yang jelas antar aparat penegak hukum dan lembaga terkait serta tidak sistematis maka suatu kemustahilan tindak pidana korupsi akan berkurang dan koruptor akan jera melakukan tindakan yang koruptif yang merugikan keuangan negara.
                Rakyat Indonesia sudah terlalu muak dengan praktek korupsi yang dipertontonkan oleh pemerintah dari tingkat “kroco” hingga “pejabat” atas. Pelaku bisnis sudah terlalu jenuh dengan praktek suap agar bisnis berjalan lancar. Keseriusan pemerintah, dalam hal ini Presiden, sangat diperlukan dan dinantikan untuk “berani” mengambil kebijakan-kebijakan yang strategis dan signifikan. Sehingga, jikalau perlu, berani lantang berkata: “sediakan 100 peti mati untuk menghukum mati koruptor dan sisakan untuk saya 1 peti mati jika saya terbukti melakukan korupsi “, sebagaimana yang diucapkan oleh Hu Jintao saat dilantik jadi Presiden Republik Rakyat China atau berkata tegas “apabila anak saya mencuri maka akan saya potong juga tangannya” sebagaimana yang ditegaskan pemimpin besar umat islam.      
                Semoga Peringatan Hari Antikorupsi pada tanggal 9 Desember 2011 ini dan dengan terpilihnya pimpinan KPK yang baru serta keseriusan Presiden memberangus korupsi akan menjadi momen yang sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi hingga keakarnya, sehingga jelas para koruptor itu dalam posisi diperangi bukan disayangi. Namun apabila peringatan tersebut hanya “ceremonial” belaka, maka cukuplah rakyat mengurut dada karena praktek korupsi, setidaknya, akan terus berlangsung hingga ada Presiden yang benar-benar berani memerangi tindak pidana korupsi. Mari bersama kita selamatkan Republik Indonesia ini. Mudah-mudahan ini bukan angan yang berkepanjangan.   



Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

No SARA please

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda